Lanjutan Part I
Argumen-Argumen Seputar Masalah
Orang-orang yang mengerjakan atau mendukung perayaan maulid Nabi Shollallohu alaihi was sallam mempunyai klaim, dakwaan dan subhat untuk melegalkan tindakan bid’ah mereka, yaitu:
Perayaan Maulid Nabi Shollallohu alaihi was sallam merupakan bentuk pengagungan kepada Beliau Shollallohu alaihi was sallam.
Jawaban terhadap pengakuan ini adalah:
Sesungguhnya pengagungan terhadap Nabi Shollallohu alaihi was sallam adalah dengan taat, mengerjakan perintah dan meninggalkan larangan-larangan Beliau, serta mencintai Nabi Shollallohu alaihi was sallam.
Pengagungan terhadap Nabi Shollallohu alaihi was sallam bukanlah dengan mengerjakan perbuatan bid’ah, khurofat, dan maksiat serta perayaan untuk memperingati kelahiran Beliau sebab semua perbuatan ini merupakan bentuk pertentangan kepada Beliau Shollallohu alaihi was sallam.
Adapun orang yang paling besar kecintaannya kepada Nabi Shollallohu alaihi was sallam mereka tiada lain adalah para sahabat Beliau –semoga Alloh ridho kepada mereka semua- Seperti yang dikatakan oleh Urwah ibn Mas’ud kepada orang-orang suku Quraish:
“ Hai kaum! Demi Alloh, saya telah diutus kepada Kisro (gelar raja Persia)pent, demikian juga kepada Kaisar (gelar raja Romawi)pent serta raja-raja, belum pernah aku melihat seorang rajapun diagungkan oleh sahabat –sahabatnya seperti pengagungan sahabat-sahabat Muhammad Shollallohu alaihi was sallam, Demi Alloh belum pernah ada pengagungan yang seperti itu”.
Namun demikian, pengagungan para sahabat kepada Nabi Shollallohu alaihi was sallam yang begitu besar tidak membuat mereka merayakan hari kelahiran (maulid) Beliau Shollallohu alaihi was sallam. Seandainya perayaan ini dianjurkan pasti para sahaabat –semoga Alloh ridho kepada mereka semua- tidak akan meninggalkannya.
Peringatan dan Perayaan Maulid Nabi Shollallohu alaihi was sallam banyak dilakukan oleh kebanyakan orang di berbagai negeri.
Jawaban terhadap terhadap pernyataan di atas adalah:
Telah tetap dalil dari Rosululloh Shollallohu alaihi was sallam tentang pelarangan bid’ah secara umum, dan peringatan maulid merupakan bagian dari bid’ah. Demikian juga perbuatan kebanyakan orang yang bertentangan dengan dalil tidaklah menjadi alasan legalitas atau hujjah untuk diperbolehkannya hal itu. Alloh Subhanahu wa Ta'ala telah berfirman :
Artinya: “ Seandainya kamu mengikuti kebanyakan manusia di bumi niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Alloh” (QS. Al-An’an: 116)
Padahal selalu ada orang (ulama) yang menginkari perbuatan bid’ah ini serta menjelaskan kesalahannya di setiap masa,. Maka tidak ada alasan bagi orang yang terus-menerus menghidupkan perbuatan bid’ah ini setelah datangnya kebenaran tentang hal ini. Diantara ulama-ulama itu –semoga Alloh ridho kepada mereka semua- adalah: Syaikhul Islam Ibn Taimiyyah dalam bukunya “ Iqtidhous Shirotil Mustaqim” Imam Ash-Shatibi dalam bukunya “ Al-I’tishom” Ibnul Haj dalam bukunya yang berjudul “ Al-Madhol” bahkan Syaikh Tajuddin Ali ibn Umar Al-Khumai mengingkari bid’ah ini dalam buku tersendiri.
Kemudian diantara ulama yang menjelaskan kerusakan perbuatan ini adalah Syaikh Muhammad Basyir As-Sahsawani Al-Hindi dalam bukunya yang berjudul “ Siyanatul Insan” demikian juga Sayyid Muhammad Rosyid Ridho telah mengarang secara tersendiri masalah ini, juga Syaikh Muhammad ibn Ibrohim Ali Syaikh serta Samahatus Syaikh Abdul Aziz ibn Baz serta lain-lainnya yang senantiasa menginkari bid’ah maulid ini melalui tulisan-tulisan sepanjang tahun, pada saat kebid’ahan ini ada.
Orang-orang yang mengerjakan maulid mengatakan: “ Sesungguhnya perayaan maulid ini merupakan upaya menghidupkan dzikir kepada Nabi Shollallohu alaihi was sallam
Jawaban terhadap hal ini:
Menghidupkan dzikir kepada Nabi Shollallohu alaihi was sallam adalah dengan cara yang telah disyariatkan oleh Alloh Ta’ala seperti dalam adzan dan iqomah, ketika khotbah, sholawat, bacaan tasyahud ketika sholat, membaca hadits, serta mengikuti apa-apa yang datangnya dari Beliau Shollallohu alaihi was sallam. Hal ini berlangsung terus-menerus siang dan malam tidak terbatas hanya satu kali dalam setahun.
Kadang-kadang mereka mengatakan “ Perayaan maulid Nabi itu dipelopori oleh seorang raja yang adil dan alim (berilmu) dengan tujuan untuk mendekatkan diri kepada Alloh”
Jawaban terhadap hal ini:
Bid’ah itu tidak bisa diterima dari siapapun datangnya, demikian juga niat baik harus diwujudkan dengan perbuatan baik pula bukan dengan perbuatan jelek. Adapun keberadaan raja itu sebagai seorang yang adil dan alim tidak menjamin dirinya sebagai seorang yang ma’sum (bebas dari dosa).
Mereka mengatakan: Perayaan Maulid Nabi itu merupakan bid’ah hasanah (baik), karena hal itu sebagai bentuk rasa syukur kepada Alloh yang telah mengirim Rosul-Nya yang mulia.
Pernyataan ini kita jawab:
“ Tidak ada kebaikan dalam bid’ah. Bukankah Nabi Shollallohu alaihi was sallam telah bersabda: “ Barang siapa yang mengada-adakan dalam urusan kami, sesuatu yang tidak ada asalnya maka ia tertolak” . Kemudian kita katakan kepada mereka: “mengapa bentuk rasa syukur ini (menurut sangkaan mereka) terlambat, baru diadakan pada abad ke-enam? Sedangkan sebaik-baik generasi yaitu generasi sahabat, tabi’in dan pengikut tabi’in belum melaksanakannya? Padahal mereka –semoga Alloh ridho kepada mereka semua- adalah generasi yang paling mencintai Nabi Shollallohu alaihi was sallam , serta manusia-manusia yang paling bersemangat dalam urusan kebaikan dan golongan yang paling pandai bersyukur. Apakah pelopor perbuatan bid’ah ini lebih lurus? Apakah rasa syukurnya kepada Alloh Ta’ala lebih besar dari generasi pendahulunya?
Terkadang mereka juga mengatakan: Sesungguhnya perayaan Maulid Nabi Shollallohu alaihi was sallam dibangun di atas kecintaan kepada Beliau Shollallohu alaihi was sallam. Dan perayaan ini adalah salah satu dari tanda-tanda cinta kepada Nabi. Bukankah menampakkan rasa cinta kepada Beliau dianjurkan?
Jawaban:
Tidak diragukan lagi bahwa mencintai Nabi Shollallohu alaihi was sallam wajib hukumnya bagi setiap muslim melebihi cintanya kepada diri-sendiri, orang tua, anak-anaknya bahkan semua orang. Akan tetapi bukan seperti itu caranya, yaitu dengan mengada-adakan perkara dalam agama yang belum pernah Beliau ajarkan kepada kita, akan tetapi kecintaan kepada Beliau mengandung tuntutan untuk taat dan mengikutinya, dan inilah bentuk kecintaan yang paling besar kepada Beliau Shollallohu alaihi was sallam.
Cinta kepada Nabi Shollallohu alaihi was sallam mengandung konsekuensi menghidupkan sunnah Beliau, berpegang teguh kepadanya, mengenyampingkan hal-hal yang menyelisihinya baik ucapan maupun perbuatan. Dan tidak diragukan lagi bahwa segala sesuatu yang berseberangan dengan sunnah adalah bid’ah yang tercela serta sebagai suatu bentuk maksiat yang nyata. Salah satunya adalah perayaan untuk memperingati kelahiran Nabi Shollallohu alaihi was sallam atau yang biasa dikenal dengan maulid Nabi ini.
Perayaan Maulid Nabi Shollallohu alaihi was sallam merupakan bentuk pengagungan kepada Beliau Shollallohu alaihi was sallam.
Jawaban terhadap pengakuan ini adalah:
Sesungguhnya pengagungan terhadap Nabi Shollallohu alaihi was sallam adalah dengan taat, mengerjakan perintah dan meninggalkan larangan-larangan Beliau, serta mencintai Nabi Shollallohu alaihi was sallam.
Pengagungan terhadap Nabi Shollallohu alaihi was sallam bukanlah dengan mengerjakan perbuatan bid’ah, khurofat, dan maksiat serta perayaan untuk memperingati kelahiran Beliau sebab semua perbuatan ini merupakan bentuk pertentangan kepada Beliau Shollallohu alaihi was sallam.
Adapun orang yang paling besar kecintaannya kepada Nabi Shollallohu alaihi was sallam mereka tiada lain adalah para sahabat Beliau –semoga Alloh ridho kepada mereka semua- Seperti yang dikatakan oleh Urwah ibn Mas’ud kepada orang-orang suku Quraish:
“ Hai kaum! Demi Alloh, saya telah diutus kepada Kisro (gelar raja Persia)pent, demikian juga kepada Kaisar (gelar raja Romawi)pent serta raja-raja, belum pernah aku melihat seorang rajapun diagungkan oleh sahabat –sahabatnya seperti pengagungan sahabat-sahabat Muhammad Shollallohu alaihi was sallam, Demi Alloh belum pernah ada pengagungan yang seperti itu”.
Namun demikian, pengagungan para sahabat kepada Nabi Shollallohu alaihi was sallam yang begitu besar tidak membuat mereka merayakan hari kelahiran (maulid) Beliau Shollallohu alaihi was sallam. Seandainya perayaan ini dianjurkan pasti para sahaabat –semoga Alloh ridho kepada mereka semua- tidak akan meninggalkannya.
Peringatan dan Perayaan Maulid Nabi Shollallohu alaihi was sallam banyak dilakukan oleh kebanyakan orang di berbagai negeri.
Jawaban terhadap terhadap pernyataan di atas adalah:
Telah tetap dalil dari Rosululloh Shollallohu alaihi was sallam tentang pelarangan bid’ah secara umum, dan peringatan maulid merupakan bagian dari bid’ah. Demikian juga perbuatan kebanyakan orang yang bertentangan dengan dalil tidaklah menjadi alasan legalitas atau hujjah untuk diperbolehkannya hal itu. Alloh Subhanahu wa Ta'ala telah berfirman :
Artinya: “ Seandainya kamu mengikuti kebanyakan manusia di bumi niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Alloh” (QS. Al-An’an: 116)
Padahal selalu ada orang (ulama) yang menginkari perbuatan bid’ah ini serta menjelaskan kesalahannya di setiap masa,. Maka tidak ada alasan bagi orang yang terus-menerus menghidupkan perbuatan bid’ah ini setelah datangnya kebenaran tentang hal ini. Diantara ulama-ulama itu –semoga Alloh ridho kepada mereka semua- adalah: Syaikhul Islam Ibn Taimiyyah dalam bukunya “ Iqtidhous Shirotil Mustaqim” Imam Ash-Shatibi dalam bukunya “ Al-I’tishom” Ibnul Haj dalam bukunya yang berjudul “ Al-Madhol” bahkan Syaikh Tajuddin Ali ibn Umar Al-Khumai mengingkari bid’ah ini dalam buku tersendiri.
Kemudian diantara ulama yang menjelaskan kerusakan perbuatan ini adalah Syaikh Muhammad Basyir As-Sahsawani Al-Hindi dalam bukunya yang berjudul “ Siyanatul Insan” demikian juga Sayyid Muhammad Rosyid Ridho telah mengarang secara tersendiri masalah ini, juga Syaikh Muhammad ibn Ibrohim Ali Syaikh serta Samahatus Syaikh Abdul Aziz ibn Baz serta lain-lainnya yang senantiasa menginkari bid’ah maulid ini melalui tulisan-tulisan sepanjang tahun, pada saat kebid’ahan ini ada.
Orang-orang yang mengerjakan maulid mengatakan: “ Sesungguhnya perayaan maulid ini merupakan upaya menghidupkan dzikir kepada Nabi Shollallohu alaihi was sallam
Jawaban terhadap hal ini:
Menghidupkan dzikir kepada Nabi Shollallohu alaihi was sallam adalah dengan cara yang telah disyariatkan oleh Alloh Ta’ala seperti dalam adzan dan iqomah, ketika khotbah, sholawat, bacaan tasyahud ketika sholat, membaca hadits, serta mengikuti apa-apa yang datangnya dari Beliau Shollallohu alaihi was sallam. Hal ini berlangsung terus-menerus siang dan malam tidak terbatas hanya satu kali dalam setahun.
Kadang-kadang mereka mengatakan “ Perayaan maulid Nabi itu dipelopori oleh seorang raja yang adil dan alim (berilmu) dengan tujuan untuk mendekatkan diri kepada Alloh”
Jawaban terhadap hal ini:
Bid’ah itu tidak bisa diterima dari siapapun datangnya, demikian juga niat baik harus diwujudkan dengan perbuatan baik pula bukan dengan perbuatan jelek. Adapun keberadaan raja itu sebagai seorang yang adil dan alim tidak menjamin dirinya sebagai seorang yang ma’sum (bebas dari dosa).
Mereka mengatakan: Perayaan Maulid Nabi itu merupakan bid’ah hasanah (baik), karena hal itu sebagai bentuk rasa syukur kepada Alloh yang telah mengirim Rosul-Nya yang mulia.
Pernyataan ini kita jawab:
“ Tidak ada kebaikan dalam bid’ah. Bukankah Nabi Shollallohu alaihi was sallam telah bersabda: “ Barang siapa yang mengada-adakan dalam urusan kami, sesuatu yang tidak ada asalnya maka ia tertolak” . Kemudian kita katakan kepada mereka: “mengapa bentuk rasa syukur ini (menurut sangkaan mereka) terlambat, baru diadakan pada abad ke-enam? Sedangkan sebaik-baik generasi yaitu generasi sahabat, tabi’in dan pengikut tabi’in belum melaksanakannya? Padahal mereka –semoga Alloh ridho kepada mereka semua- adalah generasi yang paling mencintai Nabi Shollallohu alaihi was sallam , serta manusia-manusia yang paling bersemangat dalam urusan kebaikan dan golongan yang paling pandai bersyukur. Apakah pelopor perbuatan bid’ah ini lebih lurus? Apakah rasa syukurnya kepada Alloh Ta’ala lebih besar dari generasi pendahulunya?
Terkadang mereka juga mengatakan: Sesungguhnya perayaan Maulid Nabi Shollallohu alaihi was sallam dibangun di atas kecintaan kepada Beliau Shollallohu alaihi was sallam. Dan perayaan ini adalah salah satu dari tanda-tanda cinta kepada Nabi. Bukankah menampakkan rasa cinta kepada Beliau dianjurkan?
Jawaban:
Tidak diragukan lagi bahwa mencintai Nabi Shollallohu alaihi was sallam wajib hukumnya bagi setiap muslim melebihi cintanya kepada diri-sendiri, orang tua, anak-anaknya bahkan semua orang. Akan tetapi bukan seperti itu caranya, yaitu dengan mengada-adakan perkara dalam agama yang belum pernah Beliau ajarkan kepada kita, akan tetapi kecintaan kepada Beliau mengandung tuntutan untuk taat dan mengikutinya, dan inilah bentuk kecintaan yang paling besar kepada Beliau Shollallohu alaihi was sallam.
Cinta kepada Nabi Shollallohu alaihi was sallam mengandung konsekuensi menghidupkan sunnah Beliau, berpegang teguh kepadanya, mengenyampingkan hal-hal yang menyelisihinya baik ucapan maupun perbuatan. Dan tidak diragukan lagi bahwa segala sesuatu yang berseberangan dengan sunnah adalah bid’ah yang tercela serta sebagai suatu bentuk maksiat yang nyata. Salah satunya adalah perayaan untuk memperingati kelahiran Nabi Shollallohu alaihi was sallam atau yang biasa dikenal dengan maulid Nabi ini.
Sumber : http://www.alsofwah.or.id
Referensi : Majalah Al-Usroh edisi 120 tahun ke-10 , Bulan Robiul Awwal 1424 H oleh Joko Pamungkas
Tidak ada komentar:
Posting Komentar