Selasa, Juni 29, 2010

Tinjauan Islam Terhadap Perayaan Maulid Nabi Shollallohu alaihi was sallam (Part II)

0 argumen
 Lanjutan Part I

Argumen-Argumen Seputar Masalah

Orang-orang yang mengerjakan atau mendukung perayaan maulid Nabi Shollallohu alaihi was sallam mempunyai klaim, dakwaan dan subhat untuk melegalkan tindakan bid’ah mereka, yaitu:

Perayaan Maulid Nabi Shollallohu alaihi was sallam merupakan bentuk pengagungan kepada Beliau Shollallohu alaihi was sallam.

Jawaban terhadap pengakuan ini adalah:
Sesungguhnya pengagungan terhadap Nabi Shollallohu alaihi was sallam adalah dengan taat, mengerjakan perintah dan meninggalkan larangan-larangan Beliau, serta mencintai Nabi Shollallohu alaihi was sallam.
Pengagungan terhadap Nabi Shollallohu alaihi was sallam bukanlah dengan mengerjakan perbuatan bid’ah, khurofat, dan maksiat serta perayaan untuk memperingati kelahiran Beliau sebab semua perbuatan ini merupakan bentuk pertentangan kepada Beliau Shollallohu alaihi was sallam.

Adapun orang yang paling besar kecintaannya kepada Nabi Shollallohu alaihi was sallam mereka tiada lain adalah para sahabat Beliau –semoga Alloh ridho kepada mereka semua- Seperti yang dikatakan oleh Urwah ibn Mas’ud kepada orang-orang suku Quraish:

“ Hai kaum! Demi Alloh, saya telah diutus kepada Kisro (gelar raja Persia)pent, demikian juga kepada Kaisar (gelar raja Romawi)pent serta raja-raja, belum pernah aku melihat seorang rajapun diagungkan oleh sahabat –sahabatnya seperti pengagungan sahabat-sahabat Muhammad Shollallohu alaihi was sallam, Demi Alloh belum pernah ada pengagungan yang seperti itu”.

Namun demikian, pengagungan para sahabat kepada Nabi Shollallohu alaihi was sallam yang begitu besar tidak membuat mereka merayakan hari kelahiran (maulid) Beliau Shollallohu alaihi was sallam. Seandainya perayaan ini dianjurkan pasti para sahaabat –semoga Alloh ridho kepada mereka semua- tidak akan meninggalkannya.

Peringatan dan Perayaan Maulid Nabi Shollallohu alaihi was sallam banyak dilakukan oleh kebanyakan orang di berbagai negeri.

Jawaban terhadap terhadap pernyataan di atas adalah:
Telah tetap dalil dari Rosululloh Shollallohu alaihi was sallam tentang pelarangan bid’ah secara umum, dan peringatan maulid merupakan bagian dari bid’ah. Demikian juga perbuatan kebanyakan orang yang bertentangan dengan dalil tidaklah menjadi alasan legalitas atau hujjah untuk diperbolehkannya hal itu. Alloh Subhanahu wa Ta'ala telah berfirman :

Artinya: “ Seandainya kamu mengikuti kebanyakan manusia di bumi niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Alloh” (QS. Al-An’an: 116)

Padahal selalu ada orang (ulama) yang menginkari perbuatan bid’ah ini serta menjelaskan kesalahannya di setiap masa,. Maka tidak ada alasan bagi orang yang terus-menerus menghidupkan perbuatan bid’ah ini setelah datangnya kebenaran tentang hal ini. Diantara ulama-ulama itu –semoga Alloh ridho kepada mereka semua- adalah: Syaikhul Islam Ibn Taimiyyah dalam bukunya “ Iqtidhous Shirotil Mustaqim” Imam Ash-Shatibi dalam bukunya “ Al-I’tishom” Ibnul Haj dalam bukunya yang berjudul “ Al-Madhol” bahkan Syaikh Tajuddin Ali ibn Umar Al-Khumai mengingkari bid’ah ini dalam buku tersendiri.

Kemudian diantara ulama yang menjelaskan kerusakan perbuatan ini adalah Syaikh Muhammad Basyir As-Sahsawani Al-Hindi dalam bukunya yang berjudul “ Siyanatul Insan” demikian juga Sayyid Muhammad Rosyid Ridho telah mengarang secara tersendiri masalah ini, juga Syaikh Muhammad ibn Ibrohim Ali Syaikh serta Samahatus Syaikh Abdul Aziz ibn Baz serta lain-lainnya yang senantiasa menginkari bid’ah maulid ini melalui tulisan-tulisan sepanjang tahun, pada saat kebid’ahan ini ada.

Orang-orang yang mengerjakan maulid mengatakan: “ Sesungguhnya perayaan maulid ini merupakan upaya menghidupkan dzikir kepada Nabi Shollallohu alaihi was sallam

Jawaban terhadap hal ini:
Menghidupkan dzikir kepada Nabi Shollallohu alaihi was sallam adalah dengan cara yang telah disyariatkan oleh Alloh Ta’ala seperti dalam adzan dan iqomah, ketika khotbah, sholawat, bacaan tasyahud ketika sholat, membaca hadits, serta mengikuti apa-apa yang datangnya dari Beliau Shollallohu alaihi was sallam. Hal ini berlangsung terus-menerus siang dan malam tidak terbatas hanya satu kali dalam setahun.

Kadang-kadang mereka mengatakan “ Perayaan maulid Nabi itu dipelopori oleh seorang raja yang adil dan alim (berilmu) dengan tujuan untuk mendekatkan diri kepada Alloh”

Jawaban terhadap hal ini:
Bid’ah itu tidak bisa diterima dari siapapun datangnya, demikian juga niat baik harus diwujudkan dengan perbuatan baik pula bukan dengan perbuatan jelek. Adapun keberadaan raja itu sebagai seorang yang adil dan alim tidak menjamin dirinya sebagai seorang yang ma’sum (bebas dari dosa).

Mereka mengatakan: Perayaan Maulid Nabi itu merupakan bid’ah hasanah (baik), karena hal itu sebagai bentuk rasa syukur kepada Alloh yang telah mengirim Rosul-Nya yang mulia.

Pernyataan ini kita jawab:
“ Tidak ada kebaikan dalam bid’ah. Bukankah Nabi Shollallohu alaihi was sallam telah bersabda: “ Barang siapa yang mengada-adakan dalam urusan kami, sesuatu yang tidak ada asalnya maka ia tertolak” . Kemudian kita katakan kepada mereka: “mengapa bentuk rasa syukur ini (menurut sangkaan mereka) terlambat, baru diadakan pada abad ke-enam? Sedangkan sebaik-baik generasi yaitu generasi sahabat, tabi’in dan pengikut tabi’in belum melaksanakannya? Padahal mereka –semoga Alloh ridho kepada mereka semua- adalah generasi yang paling mencintai Nabi Shollallohu alaihi was sallam , serta manusia-manusia yang paling bersemangat dalam urusan kebaikan dan golongan yang paling pandai bersyukur. Apakah pelopor perbuatan bid’ah ini lebih lurus? Apakah rasa syukurnya kepada Alloh Ta’ala lebih besar dari generasi pendahulunya?

Terkadang mereka juga mengatakan: Sesungguhnya perayaan Maulid Nabi Shollallohu alaihi was sallam dibangun di atas kecintaan kepada Beliau Shollallohu alaihi was sallam. Dan perayaan ini adalah salah satu dari tanda-tanda cinta kepada Nabi. Bukankah menampakkan rasa cinta kepada Beliau dianjurkan?

Jawaban:
Tidak diragukan lagi bahwa mencintai Nabi Shollallohu alaihi was sallam wajib hukumnya bagi setiap muslim melebihi cintanya kepada diri-sendiri, orang tua, anak-anaknya bahkan semua orang. Akan tetapi bukan seperti itu caranya, yaitu dengan mengada-adakan perkara dalam agama yang belum pernah Beliau ajarkan kepada kita, akan tetapi kecintaan kepada Beliau mengandung tuntutan untuk taat dan mengikutinya, dan inilah bentuk kecintaan yang paling besar kepada Beliau Shollallohu alaihi was sallam.

Cinta kepada Nabi Shollallohu alaihi was sallam mengandung konsekuensi menghidupkan sunnah Beliau, berpegang teguh kepadanya, mengenyampingkan hal-hal yang menyelisihinya baik ucapan maupun perbuatan. Dan tidak diragukan lagi bahwa segala sesuatu yang berseberangan dengan sunnah adalah bid’ah yang tercela serta sebagai suatu bentuk maksiat yang nyata. Salah satunya adalah perayaan untuk memperingati kelahiran Nabi Shollallohu alaihi was sallam atau yang biasa dikenal dengan maulid Nabi ini.

Sumber : http://www.alsofwah.or.id
Referensi : Majalah Al-Usroh edisi 120 tahun ke-10 , Bulan Robiul Awwal 1424 H oleh Joko Pamungkas

Syair Sahabat

0 argumen
Jauhkanlah dirimu dari segala dosa, yang besar mau-pun yang kecil, itulah hakikat takwa.
Jalanilah kehidupan bagaikan orang yang menempuh jalan penuh onak dan duri, senantiasa berhati-hati dari bahaya yang dilihat.
Janganlah engkau remehkan dosa sekalipun kecil, bukankah gunung yang menjulang tinggi berasal dari kerikil-kerikil kecil yang terhampar ?

Sungguh, diriku dihujam dengan empat anak panah,
yang tiada henti-henti melesat dari busurnya menghujam diriku.
Yaitu iblis, dunia, ambisi diri dan hawa nafsu.
Wahai Rabbku, hanya Engkau jualah yang kuasa menyelamatkan diriku.

Segala malapetaka berawal dari pandangan mata
Laksana api yang berkobar dari sebuah percikan kecil
Betapa banyak orang yang dilumpuhkan pandangan matanya
Yang merobek laksana panah melesat tanpa busur dan talinya
Puas matanya namun merana batinnya
Tiada kebahagiaan yang berakhir dengan malapetaka
Selama seseorang memiliki sepasang mata yang bebas ia sorotkan kepada wanita-wanita
Segala yang dipandangnya akan membahayakan diri sendiri

Musibah dan Cobaan

0 argumen
Berapa banyak orang yang berubah jalur hidupnya akibat musibah dan cobaan yang menimpa. Terkadang musibah dan cobaan itu datang dari orang lain atau karena akibat tingkahnya sendiri. Muslim yang sejati adalah yang bertambah ketaatannya setiap musibah dan cobaan datang menerpa. Adakah musibah dan cobaan yang lebih besar dari yang diterima Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dan sahabat-sahabat beliau? Coba buka kembali sejarah peperangan Ahzab! Simaklah firman Allah Subhanahu wa Ta'ala berikut ini yang menggambarkan betapa berat cobaan yang dialami mereka, sehingga sulit diungkapkan dengan kata-kata; 

"(Yaitu) ketika mereka datang kepadamu dari atas dan dari bawahmu, dan ketika tidak tetap lagi penglihatan(mu) dan hatimu naik menyesak sam-pai ke tenggorokan dan kamu menyangka terhadap Allah dengan bermacam-macam purbasangka. Di situlah diuji orang-orang mukmin dan digoncang-kan (hatinya) dengan goncangan yang sangat." (Al-Ahzab: 10-11) 

Coba bayangkan bagaimana keadaan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam keti-ka itu, hamba yang paling mulia di sisi Allah Subhanahu wa Ta'ala, apakah dengan cobaan yang demikian nilai ketaatan mereka merosot? Apakah pupus iman mereka kepada Allah? Ma'adzallah sekali-kali tidak! namun kita ucapkan seba-gaimana yang diucapkan hamba-hamba yang beriman. 

 "Dan tatkala orang-orang mu'min melihat golongan-golongan yang bersekutu itu, mereka berkata:"Inilah yang dijanjikan Allah dan Rasul-Nya kepada kita". Dan benarlah Allah dan Rasul-Nya. Dan yang demikian itu tidaklah menambah kepada mereka kecuali iman dan ketundukan." (QS. Al-Ahzab: 22)

Sumber : Ebook/Panah Syetan/Oleh Shalih bin Muhammad Al-Wunaiyyan

Sabtu, Juni 05, 2010

Tinjauan Islam Terhadap Perayaan Maulid Nabi Shollallohu alaihi was sallam (Part I)

0 argumen
Oleh : Diterjemahkan dari majalah Al-Usroh edisi 120 tahun ke-10

Sesungguhnya sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad Shollallohu alaihi was sallam dan seburuk-buruk perkara (dalam agama) adalah yang diada-adakan dan setiap yang diada-adakan (dalam agama) adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat dan setiap kesesatan tempatnya di neraka.

Fakta Sejarah

Melihat perjalanan hidup Nabi Shollallohu alaihi was sallam, juga sejarah para sahabat Beliau serta para Tabi’in –semoga Alloh Subhanahu wa Ta'ala ridho kepada mereka semua- demikian juga orang-orang yang mengikuti mereka, bahkan sampai tahun 350 H, maka tidak kita temukan seorangpun dari mereka mengatakan, memerintahkan apalagi mendorong untuk melakukan perayaan hari lahirnya Nabi Shollallohu alaihi was sallam baik itu dari kalangan ulama, tidak juga hakim bahkan sampai masyarakat biasa.

Al-Hafidz Ash-Sakhowi dalam fatwanya mengatakan: “ memperingati hari kelahiran Nabi Shollallohu alaihi was sallam tidak pernah dinukil dari seorangpun kalangan as-salaf ash-sholih (para pendahulu dari kalangan sahabat Nabi dan orang-orang yang mengikuti mereka) hingga sekitar tahun 300-an Hijriah, akan tetapi perbuatan itu diketemukan setelah tahun tersebut”.

Dengan demikian ada soal penting yang perlu dijawab yaitu: “Kapan perbuatan ini pertama kali terjadi? Dan siapa yang pertama kali melakukannya? Apakah dari kalangan ulama, atau hakim atau raja-raja yang merupakan penerus-penerus ahli sunnah dan orang-orang yang mengikuti mereka? Atau orang lain di luar mereka?

Pertanyaan di atas dijawab oleh seorang ahli sejarah yang berpegang teguh kepada sunnah, yaitu al-Imam Al-Maqrizi (semoga Alloh merahmatinya), yang mengatakan dalam bukunya: Al-Khutut jilid 1 hal 490 dan setelahnya sebagai berikut : “ Hari-hari yang dijadikan oleh penguasa Fatimiyah sebagai perayaan, keadaan-keadaan rakyatnya dan kemeriahan-kemeriahan pada hari itu”. Beliau berkata: “ Penguasa Fatimiyah dalam sepanjang tahun mempunyai hari-hari raya dan perayaan yaitu, akhir tahun, awal tahun, hari Ashuro (1-10 dzilhijjah), kelahiran Nabi Shollallohu alaihi was sallam, kelahiran Ali ibn Abi Tholib -semoga Alloh ridho kepadanya-, kelahiran Hasan dan Husein –semoga keselamatan dilimpahkan kepada mereka berdua-, kelahiran Fatimah binti Zahro –semoga keridhoan Alloh dilimpahkan kepadanya-, kelahiran penguasa, malam awal bulan rojab, malam pertengahan bulan rojab, perayaan malam romadhon, perayaan awal romadhon, akhir romadhon, perayaan malam penutupan romadhon, idhul fitri, idhul adha, perayaan Al-Ghodir, perayaan kiswatus Syita, ulang tahun, perayaan khomisul a’das, dan perayaan hari-hari rukubaat”.

Beliau juga mengatakan dalam bukunya yang berjudul Ittiatul Hunafaa (2/48) tahun 394 H : “dan pada bulan Robiul Awwal orang-orang mengharuskan untuk memasang lampion di sepanjang jalan dan gang-gang sempit dalam kota”.Dalam buku yang lain (3/9 9) tahun 517 Beliau berkata: “ dan kegiatan-kegiatan perayaan maulid yang mulia Nabi Shollallohu alaihi was sallam pada bulan Robiul Awwal menjadi kebiasaan ”. Dalam buku Ittiatul Hunafaa Beliau juga menggambarkan bentuk-bentuk perayaan yang diadakan untuk memperingati kelahiran Nabi Shollallohu alaihi was sallam.

Tinjauan Islam Terhadap Perayaan Maulid Nabi Shollallohu alaihi was sallam
oleh : Diterjemahkan dari majalah Al-Usroh edisi 120 tahun ke-10


Bid’ah yang Bertumpuk-Tumpuk

Dari cuplikan – cuplikan di atas Anda dapat melihat bagaimana peringatan maulid Nabi Shollallohu alaihi was sallam terkumpul bersama dengan bid’ah-bid’ah lain yang agung ( Bid’ah: segala sesuatu baik keyakinan, ucapan maupun amalan yang diada-adakan dalam agama Islam) pent seperti:

Bid’ah Syiah Rofidhoh dan berlebih-lebihan dalam menyanjung ahlul bait (keluarga Nabi Shollallohu alaihi was sallam), hal ini dapat dilihat dari perayaan-perayaan untuk memperingati hari lahir Ali, Fatimah, Hasan dan Husein – semoga Alloh ridho kepada mereka semua-.
Merupakan satu hal yang sudah diketahui bahwa daulah Ubaidiah yang mengaku dirinya keturunan Fatimah (semoga Alloh ridho kepada beliau). Fatimiah adalah daulah syiah batiniah rofidhiah yang memerangi Alloh dan Rosul-Nya, menghancurkan sunnah dan orang-orang yang berpegang teguh kepadanya.


Bid’ah perayaan tahun baru Persia maupun kelahiran Isa alaihi salam yang merupakan hari raya umat Kristen.
Tentang kedua hari raya umat Kristen ini, Ibnu Tarkamanie mengatakan dalam buku beliau yang berjudul Al-lamu’fil hawaadist wal bida’ (1/293-316): “ Termasuk perbuatan bid’ah rendahan adalah apa yang dilakukan oleh kaum muslimin di tahun baru Persia dan perayaan-perayaannya dengan menggalakan infak”. Beliau mengatakan: “ Ini adalah infak yang tidak ada artinya, dan keburukannya akan kembali kepada yang berinfak dalam waktu dekat atau lama”. Selanjutnya Beliau mengatakan: “ dan dari sedikitnya taufik adalah apa yang dilakukan oleh seorang muslim yang jelek dengan perayaan yang dikenal dengan istilah Natal (kelahiran Isa Al-Masih)”. Telah dinukil dari ulama kalangan Hanafiah bahwa barang siapa (muslim) melakukan perayaan yang telah disebut di atas, kemudian dia tidak bertobat dari perbuatan itu maka dia telah kafir seperti mereka. Disebutkan juga dari mereka tentang beberapa perayaan umat Nasrani yang diikuti oleh sebagian umat yang bodoh, keharaman mengikutinya menurut Al-Quran dan As-Sunnah, serta penyimpangannya dari kaidah –kaidah syariat secara umum.
Selanjutnya Al-Maqrizi mengatakan dalam tulisannya (1/432): “ Dahulu Al-Afdhol ibn Umair Al-Juyus telah memberantas peringatan-peringatan hari kelahiran yang empat; Maulid Nabi, Maulid Ali, Maulid Fatimah dan Penguasa, dengan sungguh-sungguh sampai semua peringatan-peringatan itu dilupakan, hingga kemudian ada pengajar-pengajar yang kembali menyebut-nyebutnya kepada penguasa dan memperbaharuinya (memasukan) dengan ajaran-ajaran Alloh ke dalamnya, berdiskusi dengannya hingga akhirnya perayaan itu kembali dilakukan”.

Pengakuan yang Tertolak

Dengan demikian kita mengetahui bahwa yang pertama kali mengadakan peringatan maulid Nabi adalah bani Ubaid yang terkenal dengan sebutan orang-orang Fatimiah. Bagaimana perkataan para ulama tentang daulah Fatimiah Al-Ubaidiah yang telah menciptakan peringatan ini?.

Al-Imam Abi Syaamah seorang ahli sejarah masa sekarang yang juga penulis buku: Ar-Roudhoutaini fi Akhbaari Ad-Daulatain (Dua Taman Mengenai Berita-berita Dua Daulah)” hal: 200-202 mengatakan tentang orang-orang Fatimiah Al-Ubaidiah: “ Mereka menampakkan kepada orang-orang bahwa dirinya adalah orang-orang yang mulia Fatimiah, hingga selanjutnya mereka menguasai negeri dan memaksa hamba-hamba Alloh. Beberapa ulama-ulama besar telah menyebutkan bahwa mereka tidaklah mempunyai hak untuk itu termasuk juga klaim mereka sebagai keturunan Fatimah – semoga Alloh ridho kepada Beliau-. Justru mereka dikenal dengan bani Ubaid. Dimana orang tua Ubaid ini merupakan keturunan Majusi (Bangsa Penyembah Api)pent yang menyimpang dari kebenaran. Ada juga yang mengatakan bahwa orang tua Ubaid adalah orang Yahudi dari keluarga Salimah yang berasal dari negeri Syam (Syiria), dan dia seorang pandai besi.

Dahulu Ubaid ini bernama Sa’id, ketika ia masuk ke Magrib (Maroko) ia dipanggil dengan nama Ubaidillah, dan mengaku bahwa dirinya adalah keturunan Fatimah, padahal hal ini tidaklah benar (tidak ada satupun penulis-penulis silsilah keturunan yang menyebutkan bahwa dia merupakan keturunan Fatimah, bahkan sekelompok ulama menyebutkan hal yang sebaliknya). Selanjutnya keadaan menjadi lunak kepadanya, sampai kemudian ia menjadi raja dengan gelar Al-Mahdi. Pada langkah selanjutnya keturunannya membangun silsilah (Al-Mahdiah) di Maroko yang disandarkan kepadanya, dimana mereka adalah orang-orang yang zindiq dan jelek. Menjadi musuh Islam dan merupakan pendukung Syiah secara sembunyi-sembunyi, sangat berambisi untuk menghilangkan jalan Islam, membunuh banyak para ahli fikih dan ahli hadist, dengan tujuan membiarkan orang-orang hidup seperti binatang ternak, sehingga mudah untuk menyebarkan aqidah mereka, maka rusak dan sesatlah orang-orang. Akan tetapi Alloh akan selalu menyempurnakan cahaya-Nya sekalipun orang-orang kafir benci.

Keturunan-keturunan mereka terus berkembang. Mereka menampakkan diri jika ada kesempatan dan bersembunyi apabila keadaan tidak memungkinkan. Dai-dai mereka terus bergerak menyesatkan manusia. Hingga tinggallah musibah ini dalam Islam sejak awal dan akhir kekuasaan mereka (bulan dzil hijjah tahun 299 H sampai 567 H ).


Fatwa Ulama Tentang Maulid Nabi Shollallohu alaihi was sallam

Fadhilatus Syaikh Dr. Sholih ibn Fauzan ibn Al-Fauzan salah seorang anggota dari haiatu kibaaril Ulama Kerajaan Saudi Arabia memberikan nasihat dan fatwa seputar masalah perayaan maulid Nabi Shollallohu alaihi was sallam (hingga akhir tulisan), berikut ini nasihat dan fatwa beliau – semoga Alloh Ta’ala selalu menjaganya-:

Dari sekian banyak perbuatan bid’ah yang dilakukan oleh orang-orang adalah peringatan hari lahir Nabi Muhammad Shollallohu alaihi was sallam pada bulan Robiul Awwal. Mereka yang melakukan hal ini terbagi menjadi beberapa macam; diantara mereka ada yang hanya sekedar berkumpul dan membaca kisah kelahiran Beliau, atau mengadakan ceramah dan membaca syair-syair ( di Indonesia lebih terkenal dengan istilah puji-pujian)Pent. Diantara mereka ada juga yang membuat berbagai macam hidangan dan memberikannya kepada siapa saja yang datang dalam acara itu.

Demikian juga tempat penyelenggaraannya, ada diantara mereka yang mengadakannya di masjid atau hanya di rumah-rumah. Lebih parah lagi diantara mereka dalam memperingati maulid bukan sekedar menyelenggarakan acara-acara biasa, seperti yang telah disebutkan di atas akan tetapi mereka menjadikan perkumpulan itu penuh dengan perkara-perkara haram dan mungkar. Bercampur-baur antara laki-laki dan perempuan dalam satu tempat, tari-tarian serta lagu-lagu. Demikian juga perbuatan-perbuatan syirik seperti istighosah (memohon diselamatkan dari bencana) kepada Rosul Shollallohu alaihi was sallam, berdoa, serta memohon kemenangan dari musuh kepada Beliau dan lain-lainnya. Tidak diragukan lagi bahwa semua perkara-perkara di atas merupakan perbuatan bid’ah yang diharamkan, merupakan berbuatan baru dalam agama yang sudah berlangsung berabad-abad.

Bersambung ke Part II

Sumber : http://www.alsofwah.or.id